FATWA, MA’ALATUL AF’AL, DAN HIKMAH DI BALIK KEMUDAHAN SYARIAT

Satu sesi dalam seminar FIQH BENCANA

Oleh:
Prof. Dr. Rozaimi Ramle
AJK Fatwa Negeri Perlis, Fiqh wa Ushuluhu Mu'tah Universiti of Jordan

Apakah agama itu harus selalu sulit? Apakah semakin berat sebuah amalan, maka semakin besar pula nilainya di sisi Allah? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap muncul di tengah masyarakat, di mana persepsi salah sering berkembang bahwa beragama itu hanya sah jika dilakukan dengan susah payah. Sebagian bahkan memandang bahwa rukhshoh, atau kelonggaran syariat, adalah pilihan "jalan pintas" yang mengurangi nilai ibadah dan keimanan. Benarkah demikian? Ataukah rukhshoh justru menunjukkan keluasan rahmat Allah yang perlu diterima dengan rasa syukur?

Dalam Islam, rukhshoh dan azimah adalah dua konsep penting yang mewakili keseimbangan syariat. Rukhshoh adalah bentuk kemurahan dari Allah SWT bagi umat-Nya yang berada dalam kondisi sulit, sementara azimah adalah keteguhan untuk melaksanakan hukum asal dalam situasi normal. Namun, sering kali terjadi salah kaprah dalam memahami keduanya. Ada yang menolak rukhshoh dengan alasan ingin menambah pahala, sementara ada juga yang salah memanfaatkan rukhshoh tanpa memahami maqasid syariah (tujuan hukum Islam). Lebih jauh lagi, terdapat pula tantangan dalam memahami maalatul af’al, yaitu dampak dari setiap tindakan yang dilakukan, terutama dalam konteks fatwa dan pelaksanaannya di masyarakat.

MENYIKAPI PERBEDAAN FATWA DI NEGERI YANG BERAGAM

Oleh: 
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Ringkasan:

Judul: "Bagaimana Menyikapi Perbedaan Fatwa di Negeri yang Beragam?"

1. Konteks Perbedaan dalam Fatwa
Di negara yang memiliki banyak negeri dan wilayah, setiap negeri memiliki mufti yang berwenang memberikan fatwa. Namun, perbedaan pandangan antar mufti sering terjadi dalam isu-isu hukum agama. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana konflik ini dapat dikelola secara bijaksana dan panduan apa yang sebaiknya diikuti oleh orang awam dalam menghadapi perbedaan ini.

2. Pemahaman tentang Konflik

  • Konflik perlu didefinisikan terlebih dahulu. Tidak semua perbedaan pendapat adalah konflik. Perbedaan dalam cara, pandangan, atau pelaksanaan adalah hal yang wajar dalam kehidupan manusia.
  • Dalam agama, perbedaan yang masih dalam kerangka yang diizinkan harus disikapi dengan sikap yang lapang dan tidak menyebabkan permusuhan. Misalnya, perbedaan antara mazhab tentang praktik salat seperti bacaan Bismillah atau Qunut.

FATWA DAN REALITAS

SEMINAR: KEWAJIBAN MEMAHAMI REALITI SEBELUM BERFATWA

Oleh: 
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, 'Fatwa itu tidak relevan lagi' atau 'Kenapa fatwa ini selalu beda?' Mungkin Anda juga termasuk orang yang diam-diam menganggap fatwa itu sekadar keputusan 'atas angin' tanpa dasar yang kokoh. Tapi tunggu dulu... apakah Anda benar-benar tahu apa itu fatwa? Siapa yang membuatnya? Dan bagaimana proses di balik setiap hukum yang Anda anggap 'beda' itu? Jika belum, maka Anda sedang berjalan dalam gelap!

Fatwa bukan hanya sekadar jawaban atas pertanyaan hukum. Ia adalah titik temu antara agama dan realitas. Ia lahir bukan dari ruang hampa, melainkan dari pergulatan ilmu, argumentasi, dan pemahaman yang mendalam terhadap situasi umat. Dalam seminar ini, kami membuka tabir institusi fatwa, menunjukkan bahwa fatwa bukan sekadar hasil tangan seorang mufti, tetapi hasil dari proses kolektif yang penuh pengkajian dan diskusi.

HUKUM ITU TIDAK SELALU HITAM DAN PUTIH

Satu ulasan dari seminar bertajuk: Kewajiban Memahami Realiti Sebelum Berfatwa

Oleh:
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

HUKUM ITU TIDAK SELALU HITAM DAN PUTIH: bahwa tidak semua hukum agama dapat dirumuskan secara kaku dalam kategori "benar" (halal) atau "salah" (haram) tanpa mempertimbangkan konteks, niat, dan situasi yang melatarbelakangi suatu permasalahan. Dalam banyak kasus, ada area "abu-abu" di mana keputusan hukum memerlukan analisis yang lebih dalam, melibatkan pemahaman terhadap konteks dan realitas yang sedang dihadapi oleh individu atau masyarakat.

CONTOH PENJELASAN DALAM ISLAM

1.    Fatwa dan Konteks : Dalam seminar "Kewajiban Memahami Realiti Sebelum Berfatwa", disebutkan bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat tetap (tsawabit), seperti jumlah rakaat shalat atau keharaman riba, memang tidak berubah. Namun, hukum-hukum lain yang bergantung pada kondisi (mutaghayyirat) dapat berubah sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman. Contoh: Pinjaman riba dibolehkan dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan hidup seseorang, karena menjaga nyawa adalah prioritas utama dalam Islam (kaidah: ad-darurat tubih al-mahzurat – "keadaan darurat membolehkan yang dilarang").

2.    Perbedaan Latar Belakang : Rasulullah ﷺ memberikan jawaban berbeda pada dua orang yang bertanya dengan pertanyaan yang sama: Seorang pemuda bertanya: "Bolehkah mencium istri saat berpuasa?" Nabi menjawab tidak, karena pemuda tersebut dikhawatirkan tidak mampu menahan hawa nafsunya. Seorang lelaki tua bertanya hal yang sama, Nabi menjawab boleh, karena lelaki tua tersebut dianggap lebih mampu mengendalikan dirinya. Kesimpulan: Hukum tidak dilihat secara kaku, tetapi diputuskan berdasarkan siapa yang bertanya, kondisinya, dan kemampuannya.