HUKUM ITU TIDAK SELALU HITAM DAN PUTIH

Satu ulasan dari seminar bertajuk: Kewajiban Memahami Realiti Sebelum Berfatwa

Oleh:
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

HUKUM ITU TIDAK SELALU HITAM DAN PUTIH: bahwa tidak semua hukum agama dapat dirumuskan secara kaku dalam kategori "benar" (halal) atau "salah" (haram) tanpa mempertimbangkan konteks, niat, dan situasi yang melatarbelakangi suatu permasalahan. Dalam banyak kasus, ada area "abu-abu" di mana keputusan hukum memerlukan analisis yang lebih dalam, melibatkan pemahaman terhadap konteks dan realitas yang sedang dihadapi oleh individu atau masyarakat.

CONTOH PENJELASAN DALAM ISLAM

1.    Fatwa dan Konteks : Dalam seminar "Kewajiban Memahami Realiti Sebelum Berfatwa", disebutkan bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat tetap (tsawabit), seperti jumlah rakaat shalat atau keharaman riba, memang tidak berubah. Namun, hukum-hukum lain yang bergantung pada kondisi (mutaghayyirat) dapat berubah sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman. Contoh: Pinjaman riba dibolehkan dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan hidup seseorang, karena menjaga nyawa adalah prioritas utama dalam Islam (kaidah: ad-darurat tubih al-mahzurat – "keadaan darurat membolehkan yang dilarang").

2.    Perbedaan Latar Belakang : Rasulullah ﷺ memberikan jawaban berbeda pada dua orang yang bertanya dengan pertanyaan yang sama: Seorang pemuda bertanya: "Bolehkah mencium istri saat berpuasa?" Nabi menjawab tidak, karena pemuda tersebut dikhawatirkan tidak mampu menahan hawa nafsunya. Seorang lelaki tua bertanya hal yang sama, Nabi menjawab boleh, karena lelaki tua tersebut dianggap lebih mampu mengendalikan dirinya. Kesimpulan: Hukum tidak dilihat secara kaku, tetapi diputuskan berdasarkan siapa yang bertanya, kondisinya, dan kemampuannya.

3.    Budaya dan Uruf (Kebiasaan Setempat) : Misalnya, pakaian seperti kain batik yang dipakai oleh lelaki di Jawa dianggap normal, sedangkan di wilayah lain, pakaian tersebut mungkin dianggap menyerupai pakaian perempuan dan dilarang. Dalam hal ini, uruf (kebiasaan setempat) menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum.

4.    Fatwa tentang Kehidupan Modern: Dalam dunia modern, hukum Islam sering harus merespons isu-isu yang tidak ada di zaman Nabi, seperti fintech, perjalanan ke luar angkasa, atau bank konvensional. Dalam kasus ini, ulama harus memahami realitas dan membuat keputusan berdasarkan maqashid syariah (tujuan utama syariat), yaitu menjaga agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Contoh: Bagaimana seorang astronaut Muslim melaksanakan shalat di luar angkasa di mana matahari tidak terbit atau terbenam? Dalam kasus ini, jadwal shalat harus diadaptasi berdasarkan waktu bumi atau waktu peluncuran.

KESIMPULAN

Ungkapan "hukum tidak selalu hitam dan putih" menunjukkan fleksibilitas Islam dalam menghadapi realitas yang kompleks. Hal ini didasarkan pada kaidah fiqih seperti:

·         Al-umur bimaqasidiha (segala perkara tergantung pada niatnya),

·         Al-darurat tubih al-mahzurat (keadaan darurat membolehkan yang dilarang),

·         Al-‘adah muhakkamah (kebiasaan setempat dapat menjadi rujukan hukum).

Dengan kata lain, Islam selalu relevan dan adil karena tidak memaksakan satu jawapan yang kaku untuk semua situasi. Sebaliknya, ia menimbang konteks, latar belakang, dan maslahat untuk menghasilkan keputusan hukum yang bijaksana.