HUKUM POLIGAMI TANPA IZIN ISTERI PERTAMA

Pertanyaan:
Apakah hukum seseorang yang berpoligami tanpa izin dari istri pertama maupun hakim? Mereka menikah di luar negeri. Syarat pernikahan mereka memang lengkap, tetapi istri pertama tidak setuju, dan izin dari hakim setempat juga tidak diminta. Apakah pernikahan mereka sah? Bagaimana jaminan bahwa dia mampu berlaku adil?

Dijawab oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Poligami Diizinkan bagi yang Mampu

  • Poligami adalah ketentuan yang diberikan oleh syariat kepada laki-laki. Dengan ketentuan tersebut, seorang laki-laki boleh menikahi wanita lebih dari satu, tetapi tidak lebih dari empat orang. Poligami bukanlah kewajiban, melainkan sebuah izin syariat. Setiap Muslim wajib meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang diturunkan oleh Allah S.W.T. bukan untuk kepentingan-Nya yang agung, karena Dia Maha Suci dari bergantung kepada makhluk. Segala sesuatu yang diturunkan-Nya adalah li maslahah al-‘ibad, yaitu demi kemaslahatan atau kepentingan hamba-hamba-Nya.

Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam (wafat 660 H) dalam kitabnya Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam menyatakan: "Kita telah mengetahui dari sumber-sumber syariat bahwa tujuan (hukum-hukum) syariat adalah untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Bukanlah kesusahan (masyaqqah) dalam mengamalkan syariat yang menjadi maksud utama, tetapi yang dimaksud adalah manfaat yang diperoleh dari kesusahan itu. Hal ini seperti seorang dokter yang menyuruh pasiennya meminum obat yang sangat pahit. Tujuannya hanyalah untuk menyembuhkan." (Izz al-Din ‘Abd al-Salam, Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, 1/29, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

  • Dr. Yusuf al-Qaradawi berkata: "Inilah yang dipertimbangkan oleh Syariat Islam dalam persoalan poligami. Syariat telah menimbang antara segala kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, kemudian mengizinkannya bagi siapa yang memerlukannya dengan syarat bahwa pengamalnya yakin dia dapat berlaku adil dan tidak khawatir melakukan kezaliman atau berat sebelah. Firman Allah dalam Surah al-Nisa ayat 3 (maksudnya): 'Jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah) hanya seorang istri.'" (Al-Qaradawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, hlm. 133-134, Mesir: Maktabah Wahbah).
Suami yang tidak dapat menunaikan tanggung jawabnya sebagai suami dengan satu istri saja sudah pasti lebih tidak mampu jika memiliki istri tambahan. Oleh karena itu, suami seperti itu diharamkan untuk berpoligami karena hanya akan menyebabkan kezaliman.

Keadilan Wajib dalam Hal Lahiriah

  • Keadilan merupakan syarat yang Allah tetapkan atas suami untuk berlaku adil di antara istri-istrinya, kecuali jika salah satu istri dengan sukarela menarik haknya, seperti yang dilakukan oleh istri Nabi s.a.w., Saudah binti Zam’ah. Dia memberikan hak giliran harinya kepada ‘Aisyah.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah:

مَا رَأَيْتُ امْرَأَةً أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِسْلَاخِهَا مِنْ سَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ، مِنِ امْرَأَةٍ فِيهَا حِدَّةٌ، قَالَتْ: فَلَمَّا كَبِرَتْ، جَعَلَتْ يَوْمَهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَائِشَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، قَدْ جَعَلْتُ يَوْمِي مِنْكَ لِعَائِشَةَ، «فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقْسِمُ لِعَائِشَةَ يَوْمَيْنِ، يَوْمَهَا وَيَوْمَ سَوْدَةَ»

(Artinya) "Aku tidak pernah menemukan seorang wanita yang lebih aku sukai untuk menjadi seperti dirinya selain Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang sangat bersungguh-sungguh. Ketika dia telah tua, dia memberikan giliran harinya bersama Rasulullah s.a.w. kepada ‘Aisyah. Saudah berkata: ‘Wahai Rasulullah! Aku telah memberikan giliran hariku bersamamu kepada ‘Aisyah.’ Maka Rasulullah s.a.w. memberikan kepada ‘Aisyah dua hari; hari untuk dirinya sendiri dan hari untuk Saudah.” (Riwayat Muslim).

Jika seorang istri menarik haknya dalam pemberian harta atau giliran hari, maka tidak masalah bagi suami untuk tidak membaginya secara adil. Namun, penarikan hak tersebut harus dilakukan atas pilihan istri secara sukarela, bukan karena paksaan.

Poligami Bukan Penyebab Ketidakadilan

  • Dalam banyak kasus kecuaian dan kezaliman dalam rumah tangga, penyebabnya bukanlah poligami, melainkan sikap suami itu sendiri. Dr. Wahbah al-Zuhaili mengatakan: "Bukanlah poligami yang menyebabkan anak-anak terabaikan sebagaimana yang sering dituduhkan. Sebaliknya, hal itu berpunca dari kelalaian ayah dalam mendidik anak-anak, mabuk minuman keras, kecanduan narkoba, tenggelam dalam hawa nafsu, berjudi, sering ke kedai kopi, pengabaian keluarga, dan lain-lain." (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 7/173, Beirut: Dar al-Fikr).
  • Kelalaian terhadap istri juga disebabkan oleh sikap, bukan karena poligami. Oleh karena itu, kita sering melihat banyak suami yang hanya memiliki satu istri (monogami) tetapi tetap menzalimi istri dan anak-anaknya. Jika suami seperti ini berpoligami, situasinya akan menjadi lebih buruk. Lelaki yang zalim seperti itu diharamkan untuk berpoligami.

Salah Paham terhadap Ayat Al-Qur’an

  • Sebagian pihak menafsirkan ayat Allah dalam Surah al-Nisa’ ayat 129:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

(Maksudnya) “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya).”

Mereka mengatakan bahwa ayat ini membatalkan pernyataan dalam ayat 3 dari surah yang sama:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

(Maksudnya) “Jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah) hanya seorang istri.”

Pandangan tersebut sebenarnya keliru, karena secara tidak langsung seakan-akan menjadi tuduhan terhadap Nabi s.a.w., para sahabat, dan generasi ulama Islam sejak dahulu. Seolah-olah mereka semua tidak memahami Al-Qur’an sehingga membolehkan poligami untuk diri mereka dan umatnya.

Keadilan Zahir Saja yang Dituntut

  • Sebenarnya, ayat 129 Surah al-Nisa’ membahas tentang keadilan mutlak yang tidak mungkin dicapai oleh manusia. Keadilan mutlak mencakup semua aspek, termasuk perasaan kasih sayang yang ada di dalam hati, cara hubungan seksual, dan lain sebagainya. Semua ini berada di luar batas kemampuan manusia. Bahkan, manusia tidak mampu mencintai semua anak-anaknya secara setara; demikian pula dengan istri-istrinya. Anak yang lebih manja dan pandai mengambil hati tentu akan mendapatkan kasih sayang lebih besar. Demikian juga dengan istri.

Apakah karena ada rasa sayang yang lebih pada salah satu anak, lantas orang tua berdosa, padahal dalam hal pengelolaan lahiriah terhadap anak-anak, mereka telah berlaku adil? Jawabannya adalah tidak!

  • Oleh karena itu, Islam hanya menuntut keadilan dalam hal akhlak, pergaulan, sikap, dan kebendaan. Semua itu harus dilakukan dengan keseimbangan dan keadilan, karena hal tersebut berada dalam batas kemampuan manusia. Tidak boleh rasa cinta di dalam hati menyebabkan ketidakadilan dalam tindakan.

Sambungan ayat tersebut menyatakan:

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا


(Maksudnya): "Oleh itu, janganlah kamu terlalu cenderung (berat sebelah kepada istri yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan istri yang lain seperti sesuatu yang tergantung (di awang-awang); dan jika kamu memperbaiki (keadaan yang pincang itu) dan bertakwa (menghindari kezaliman), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang."

Nabi s.a.w. bersabda dalam sebuah hadis:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ. قَالَ أَبو دَاود يَعْنِي الْقَلْبَ

(Artinya) Dari Aisyah R.A: Bahwa Nabi S.A.W. membagi hak di antara istri-istrinya dengan adil. Beliau bersabda: “Ya Allah, inilah pembagianku dalam hal yang aku miliki. Jangan Engkau salahkan aku dalam hal yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya.” Abu Daud – ketika meriwayatkan hadis ini – mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “hal yang aku tidak miliki” adalah hati. (Riwayat al-Nasai, Abu Daud, al-Tirmizi, dan Ibn Majah. Al-Hakim mensahihkannya dalam Al-Mustadrak).

Artinya, cinta dan kecenderungan hati adalah sesuatu yang tidak bisa dikuasai manusia dan tidak mungkin ditentukan keadilan pembagiannya.

Kecenderungan Hati Tidak Dianggap Salah Selagi Tidak Menjadi Ketidakadilan dalam Tindakan

  • Kecenderungan hati yang menyebabkan kasih sayang tidak sepenuhnya sama tidak dianggap salah di sisi Allah, selama hal itu tidak diterjemahkan menjadi ketidakadilan dalam bentuk tindakan. Inilah maksud dari ayat tersebut.

Al-Imam al-Qurtubi (wafat 671 H) ketika menafsirkan ayat 129 Surah al-Nisa menyatakan:
"Dalam ayat tersebut, Allah menyampaikan tentang ketidakmampuan manusia untuk berlaku adil di antara istri-istrinya dalam hal kecenderungan tabiat, seperti cinta, hubungan seksual, dan perasaan dalam hati. Allah menggambarkan bahwa sifat manusia secara alami tidak memungkinkan untuk sepenuhnya mengendalikan kecenderungan hatinya terhadap sesuatu atau sebaliknya. Kemudian Allah melarang manusia dengan firman-Nya: (maksudnya) 'Janganlah kamu cenderung dengan melampau.' Artinya, janganlah dengan sengaja menyakiti, tetapi hendaklah berlaku adil dalam pembagian dan nafkah, karena ini adalah hal yang dapat dilakukan manusia."*
(Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, 5/407. Beirut: Dar al-Fikr).

Keizinan Istri Pertama?

  • Adapun pandangan yang mensyaratkan izin dari istri pertama, hakim, atau mahkamah syariah bagi siapa pun yang ingin berpoligami adalah bersifat administratif, tetapi bukanlah syarat sah pernikahan. Artinya, menurut syariat, pernikahan tersebut tetap sah jika rukun nikah terpenuhi, meskipun tanpa izin dari hakim.

Adalah salah jika pihak administratif menghalang-halangi atau mengambil tindakan terhadap pelaku poligami hanya berdasarkan emosi tanpa alasan yang kokoh menurut syariat, padahal Allah dan Rasul-Nya secara jelas mengizinkannya.

  • Oleh sebab itu, banyak ulama kontemporer yang membantah syarat poligami yang mensyaratkan izin dari hakim. Masalah keadilan suami tidak dapat dinilai sebelum pernikahan terjadi. Bagaimana mungkin seorang hakim atau pihak lain dapat memastikan bahwa seseorang tidak akan berlaku adil jika beristri dua? Bagaimana pula seseorang dapat memutuskan bahwa yang lain pasti akan berlaku adil? Bahkan, ada orang yang dianggap adil, tetapi ternyata sebaliknya.

Jika Suami Memiliki Rekam Jejak Ketidakmampuan?

  • Jika seorang suami memiliki rekam jejak ketidakmampuan memberi nafkah, kecuaian, atau kezaliman terhadap istri yang sudah ada, maka tindakan harus diambil sejak awal, bukan menunggu dia melakukan poligami. Hakim harus memberi ruang kepada istri untuk menuntut fasakh dan memberikan sanksi atas kecuaian atau kezaliman suami.

Menyulitkan istri untuk menuntut fasakh adalah penyebab kezaliman rumah tangga terus berlangsung, baik dalam kasus monogami maupun poligami. Sayangnya, inilah yang terjadi dalam birokrasi di sebagian mahkamah syariah. Urusan fasakh dan tebus talak dipersulit hingga istri hidup dalam tekanan, sementara poligami justru yang dijadikan kambing hitam.

Tidak Boleh Menghalangi Poligami Tanpa Alasan Syar’i

  • Sikap adil atau tanggung jawab terhadap istri bukan hanya berlaku bagi yang berpoligami, tetapi juga bagi yang memiliki satu istri. Jika hak izin poligami diberikan kepada hakim secara luas, maka nantinya yang ingin menikah dengan satu istri pun akan dinilai oleh hakim, apakah dia mampu bertanggung jawab atau tidak. Setelah itu, bisa jadi yang ingin menambah anak juga akan dinilai apakah dia mampu atau tidak. Apakah kita lupa bahwa banyak orang yang berubah menjadi lebih baik setelah menikah, atau rezekinya bertambah setelah jumlah anaknya bertambah?

  • Oleh sebab itu, Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah (Islamic Research Assembly) dalam muktamarnya yang kedua di Kairo pada tahun 1975 memutuskan: "Adapun terkait dengan poligami, maka pihak muktamar memutuskan bahwa poligami diizinkan dengan jelas berdasarkan nas-nas Al-Qur’an Al-Karim serta syarat-syarat yang terkait dengannya. Penggunaan hak ini sepenuhnya diserahkan kepada suami, dan tidak membutuhkan izin dari hakim.”

  • Abd al-Karim Zaidan dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam al-Marah menyatakan: "Saya berpendapat bahwa tidak diperbolehkan secara syar’i menjadikan kelayakan poligami ditentukan oleh hakim atau mengaitkan keharusan poligami dengan izin hakim."

Beliau juga menyebut:
"Salah satu bukti yang mendukung keputusan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah di atas adalah bahwa tidak pernah disebutkan kepada kita, sejak zaman Rasulullah s.a.w. hingga masa sesudahnya, bahwa ada fuqaha (ulama fikih) yang mensyaratkan izin hakim bagi seseorang yang ingin berpoligami. Jika syarat ini memang disyariatkan, tentu kitab-kitab fikih dan kehakiman akan menyebutkannya. Ketika hal ini sama sekali tidak disebutkan, maka ini menjadi dalil pasti adanya ijma’ sukuti (ijmak diam-diam) bahwa keharusan poligami tidak dikaitkan dengan izin hakim. Maka, menjadikan syarat ini sekarang berarti memecahkan ijma’ tersebut.”
(‘Abd al-Karim Zaidan, Al-Mufassal fi Ahkam al-Marah, 6/294, cetakan Muassasah al-Risalah, Beirut).

  • Dr. Wahbah al-Zuhaili juga membantah pandangan yang mensyaratkan izin hakim untuk poligami dengan beberapa argumennya dalam al-Fiqh al-Islami. Bagi yang ingin mendetailkan, dapat merujuk pada pembahasan dengan tajuk الدعوة إلى جعل تعدد الزوجات بإذن القاضي (Seruan Agar Poligami Memerlukan Izin Hakim). Tokoh lainnya adalah Dr. Muhammad ‘Uqlah dalam bukunya Nizam al-Usrah fi al-Islam, yang menganggap syarat izin hakim sebagai pemikiran bid‘ah yang dapat membuka peluang pada hubungan zina.

Yang Sepatutnya Dilakukan

  • Jika seorang suami terbukti tidak berlaku adil, maka istri dapat membawa kasus tersebut kepada hakim dan menuntut fasakh. Perjuangan untuk hak istri seharusnya tidak hanya dalam konteks poligami, tetapi juga mencakup seluruh aspek kezaliman suami. Wanita harus diberikan ruang untuk membangun hidup baru dengan mempermudah mereka melepaskan diri dari suami yang kejam melalui percepatan dan kemudahan dalam urusan talak, fasakh, khulu’, tafriq, dan sejenisnya.